Bagaimana tidak ngenes, ondel-ondel ialah kesenian yang digadang-gadang sebagai ciri khas Jakarta, kota dimana dulu masyarakat Betawi merupakan intinya. Boneka besar setinggi 2 meteran ini juga kerap tertulis pada banyak sekali buku pelajaran dan teks pidato para pejabat dikala berpidato perihal seni budaya di ibukota.
Semua gembira dan membanggakannya.
Cuma, melihat keseharian di lapangan, tampaknya antara kenyataan dan teori kolam bumi dan langit.
Teorinya, kalau sesuatu dianggap khas, istimewa, tentunya harus diberikan perhatian khusus dan diperlakukan secara khusus pula. Tujuannya terang supaya kesenian ini tidak punah dan menghilang dari bumi Indonesia. Logikanya ibarat itu.
Prakteknya berbeda sekali.
Sosok ondel-ondel sering melintas di Jalan Wahid Hasyim Jakarta hampir setiap hari. Kelihatannya ada dua rombongan berbeda alasannya ialah jenis ondel-ondelnya berbeda.
Yang sama hanya satu, mereka mengais recehan dari orang-orang di sepanjang jalan itu. Biasanya mereka akan berjoged sementara satu dua orang dengan kaleng bekas cat akan berkeliling mengharapkan orang yang lewat untuk memasukkan uang ke dalamnya.
Sering sama sekali tidak ada yang memberi.
Kesenian yang katanya khas Betawi dan peninggalan budaya lokal yang adiluhung ibarat turun derajat menjadi tidak berbeda dengan pengemis untuk dapat bertahan hidup. Seni yang katanya istimewa untuk tetap bertahan hidup saja sulit sekali.
Sudah selayaknya seharusnya para seniman ondel-ondel diperhatikan dan dibina. Bagaimanapun mereka perlu makan untuk hidup dan untuk itu berarti butuh uang, bukan sekedar disebut dalam pidato atau buku pelajaran. Yang ibarat itu tidak akan menciptakan perut orang di dalam ondel-ondel kenyang.
Jika mereka dapat mendapat nafkah yang layak tentunya mereka dapat tetap berjuang melestarikan ondel-ondel itu sendiri. Sebaliknya, kalau hidup sebagai pemain ondel-ondel dirasa tidak bisa, setidaknya, memberi kehidupan yang layak, sudah niscaya mereka akan berpaling dan mencari yang lebih menjanjikan.
Itu aturan alam dan kodrat manusia.
Bila itu terjadi, maka tidak akan ada yang memainkan ondel-ondel lagi. Bonekanya hanya akan terpajang, entah dimana, dan tidak bergerak-gerak lagi untuk , menolak bala ibarat dikala lahirnya. Ia hanya menjadi boneka kaku yang akan lapuk dimakan rayap dan tidak bermakna apa-apa.
Ondel-ondel bukan hanya bonekanya. Ondel-ondel ialah kesatuan antara pemain dan bonekanya. Ondel-ondel harus bergerak gerak menakuti hantu. Kalau tidak bergerak bukan ondel-ondel namanya.
Dan, kalau tidak ada pemainnya alasannya ialah mereka menentukan jadi tukang parkir atau pekerja bangunan, maka tidak akan ada ondel-ondel.
Pada dikala itu terjadi, Indonesia akan kehilangan satu lagi budaya lokal yang mempunyai nilai historis tinggi bagi masyarakat Betawi dan Indonesia.
Ataukah memang punahnya sebuah seni budaya orisinil Indonesia dianggap sebagai sebuah hal yang memang harus terjadi?
Kalau memang para pemangku kepentingan melihat ibarat itu, makin ngenes saja melihat nasib ondel-ondel di Jakarta. Mereka jadi ibarat orang sakit dan sekarat, tetapi dokternya tidak mau menolong.
Hampir niscaya akan mati.
Siapa coba, yang tidak akan merasa sedih, dan tersayat melihat hal ibarat itu.
0 Response to "[Ngenes] Melihat Nasib Ondel-Ondel di Jakarta"
Posting Komentar