NO FREE LUNCH. Tidak ada makan siang gratis. Tidak ada yang tidak perlu membayar. Itu pepatah kaum bule. Kenyataannya memang demikian. Bahkan di dunia perdagangan level bawah alias PKL.
Sudah menjadi sebuah belakang layar umum bahwa PKL di trotoar Jakarta, dan banyak trotoar lain di banyak sekali kota Indonesia membayar "iuran" untuk dapat berdagang di lokasi tersebut. Publik yakin kalau mereka juga memberi setoran kepada seseorang.
Hasil ngobrol-ngobrol dan nongkrong-nongkrong dengan beberapa pedagang dan kenalan di Jalan Wahid Hasyim membenarkan hal itu. Ternyata harga "iuran" yang dikeluarkan para PKL di trotoar sepanjang jalan tersebut menciptakan tercengang juga.
Sebuah lapak yang hanya cukup untuk etalase beling beroda ukuran1.5 M X 0.5 M harus ditebus dengan uang 8 juta rupiah pertahun. Woww... Tidak murah. Lebih jauh lagi, ada rumor bahwa sebuah warteg yang posisinya nyempil di sudut sebuah gang di jalan yang sama, harus membayar "iuran" 30 juta rupiah, per tahun.
Iuran kepada siapa?
Ini yang sering menjadikan prasangka buruk. Banyak dugaan kalau mereka menyetor kepada "petugas" (entah siapa), tetapi hasil ngobrol-ngobrol setoran itu bukan kepada petugas tetapi kepada "preman" yang menguasai wilayah itu.
Entah apa kekuasaan preman itu sehingga mereka dapat memungut iuran seenaknya. Mungkin ada beking? Maybe.. dapat juga tidak.
Tetapi, yang terang para PKL di trotoar Jakarta ialah sapi perahan juga dari orang-orang lain yang merasa dirinya punya kuasa di suatu daerah.
Padahal dikala ada penertiban, menyerupai yang dilakukan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam rangka BULAN TERTIB TROTOAR, Agustus 2017 ini, preman-preman itu tidak dapat membantu apa-apa. Para PKL trotoar terpaksa harus mengungsi dan bersembunyi.
Mungkin, kalau memang mau menghentikan kebiasaan berdagang di atas trotoar, Pemerintah Daerah DKI Jakarta harus juga dapat memberantas premanisme disana. Mereka ini ialah biang dari permasalahn yang menciptakan ibukota menjadi tidak tertib.
Kalau tidak bisa, karenanya akan tidak maksimal. Para preman ini akan terus memasarkan trotoar biar mereka dapat mengeruk uang dari pedagang yang membutuhkannya. Mereka perlu sapi perah untuk mendapat uang dan itu dilakukannya dengan "menjual lahan" yang seharusnya merupakan hak pejalan kaki.
Sebuah budaya yang harus terus diberantas.
Dan, bukan sekedar dengan menertibkan para PKL di trotoar saja alasannya ialah mereka hanyalah sebagian dari masalah. Bukan keseluruhan masalah.
0 Response to "PKL di Trotoar Jakarta Juga Tidak Gratis Lo, Mereka Juga Membayar Iuran"
Posting Komentar