Di awal terpilihnya Ir. Tatong Bara dan Drs. Djainudin Damopolii untuk memimpin Kotamobagu 5 tahun ke depan, mereka disambut dengan euphoria gegap gempita. Optimisme kecut di masa walikota sebelumnya yang hampir meredup, secara alami menyeruak lagi ke permukaan. Harapan gres pun terbentang di depan mata sejalan dilantiknya Ir Tatong Bara dan Drs Djainudin Damopolii September 2013 lalu.
Kini dalam usia pemerintahannya yang hampir genap dua tahun, pasangan yang diusung Partai Amanat Nasional dengan maskot kota untuk semua dikala pemilihan walikota lalu, pun diperhadapkan sejumlah ujian dengan banyak sekali irisan kepentingan politik dan kepentingan publik.
Ujian pertama yang memerlukan nyali di awal pemerintahannya, menaklukan forum legislatif dengan mendapat fraksi utuh, pun cukup sukses dilakukan. Kegelisahan diawalnya tidak mendapat fraksi utuh di forum legislatif, sempat menjadikan kekhawatiran pemerintahan TB-Jadi nantinya akan tersandung berulang kali dalam pusaran politik.
Situasi korelasi direktur - legislatif
Berkembang kesan belakangan ini kekhawatiran itu tidak terbukti. Kerjasama direktur dan legislatif patut diapresiasi cukup harmonis, seiya sekata dalam pelbagai urusan dan kepentingan, baik itu ranah politik maupun ranah kepentingan publik.
Hampir tidak pernah terkuak di khalayak ramai, sang Walikota terpilih bersitegang serius dengan warga kampung sebelah di bilangan depan rumah dinas wakil walikota.
Ini cukup mengambarkan dalam kasus remeh temeh urusan politik, Ketua DPW PAN Sulut yaitu maestronya dan telah khatam berkali-kali dengan kitab ilmu politik.
Kini dalam usia pemerintahannya yang hampir genap dua tahun, pasangan yang diusung Partai Amanat Nasional dengan maskot kota untuk semua dikala pemilihan walikota lalu, pun diperhadapkan sejumlah ujian dengan banyak sekali irisan kepentingan politik dan kepentingan publik.
Ujian pertama yang memerlukan nyali di awal pemerintahannya, menaklukan forum legislatif dengan mendapat fraksi utuh, pun cukup sukses dilakukan. Kegelisahan diawalnya tidak mendapat fraksi utuh di forum legislatif, sempat menjadikan kekhawatiran pemerintahan TB-Jadi nantinya akan tersandung berulang kali dalam pusaran politik.
Situasi korelasi direktur - legislatif
Berkembang kesan belakangan ini kekhawatiran itu tidak terbukti. Kerjasama direktur dan legislatif patut diapresiasi cukup harmonis, seiya sekata dalam pelbagai urusan dan kepentingan, baik itu ranah politik maupun ranah kepentingan publik.
Hampir tidak pernah terkuak di khalayak ramai, sang Walikota terpilih bersitegang serius dengan warga kampung sebelah di bilangan depan rumah dinas wakil walikota.
Ini cukup mengambarkan dalam kasus remeh temeh urusan politik, Ketua DPW PAN Sulut yaitu maestronya dan telah khatam berkali-kali dengan kitab ilmu politik.
Terkait itu, harus diakui bagi orang awam ritme pergulatan politik bahwasanya bukanlah barang yang menarik untuk dipelototi semenarik kerikil akik bacan doko.
Namun berbeda bagi yang melek politik, pergulatan politik yaitu sebuah seni kiprah yang asyik dilakoni, dengan tuntutan bisa mengekspresikan bermacam-macam karakter.
Ketika karakter marah, seorang politikus ulung verbal wajahnya harus terlihat keras bertanduk-tanduk, tegas, dan sedikit pelit senyuman.
Namun ketika karakter senang dan senang, sudah niscaya verbal wajah itu terlihat ceria, menebar aura kehangatan dengan balutan selipan senyum sumringah.
Terlepas aneka karakter itu, ujian kedua bagi Walikota dan Wakil Walikota terpilih yaitu memenuhi semua janji-janji dikala kampanye lalu.
Di berbagai kesempatan memimpin rapat dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah, Walikota sering melontarkan merasa aib kalau ditanya masyarakat seputar janji-janji kampanye yang belum terealisasi.
Inilah juga alasan utama Walikota jarang lagi beranjangsana ke hajatan masyarakat pasca dilantik menjadi walikota.
Kembali lagi, hal Ihwal empu rasa malu, diinisiasi pertama kali negeri sakura Jepang lewat tradisi bushido periode antara tahun 1870 – 1895.
Ringkasnya, tidak berpanjang lebar kaum samurai akan meminta melaksanakan upacara harakiri (bunuh diri) kepada pemimpinnya sebagai wujud penebusan rasa malu
Malu sang walikota
Pada titik ini, saya berharap walikota alih-alih tidak melaksanakan hal yang sama dalam tradisi bushido itu.
Akan tetapi, kalau itu harus dilakukan sebagai sebuah tanggung jawab moral pemimpin maka cukup dilakukan dengan secarik kertas bertulis perihal pengunduran diri sebagai walikota. Lain soal kalau rasa aib itu.
hanya sebuah karakter dan eskpresi politik semata, abaikan saja niat bunuh dirinya lantaran Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 wacana Hak Asasi Manusia sejauh ini lalai memasukan klausul hak bunuh diri sebagaimana yang berlaku di potongan negara lain.
Adalah masuk akal kalau Walikota Kotamobagu merasa malu, ini sebuah penemuan budaya kerja yang patut dilembagakan.
Duga-duga pun berkembang, lantaran rasa aib itu, walikota suka marah-marah dikala memimpin rapat dengan jajaran pemerintahannya. Sekilas amuk Walikota Kotamobagu itu tidak berbeda dengan amuk Walikota Surabaya Tri Rismaharini, sama-sama murka lantaran kinerja SKPDnya yang melempem.
Yang berbeda di antara kedua walikota ini, dalam suatu acara talkshow di salah satu stasiun terkemuka, Walikota terbaik Indonesia Tri Rismaharini ini mengungkapkan kebiasaannya melaksanakan perjalanan dinas ke Jakarta, bahwa pada sore harinya beliau akan selalu bergegas pulang ke Surabaya lantaran besok pagi beliau harus bekerja.
Bertolak belakang dengan Walikota Kotamobagu, ditengah kesiuran kegiatan semua warga Kotamobagu pun tahu dan pasti, walikota hampir seringkali tidak berada di bangku panasnya, sibuk melaksanakan perjalanan dinas yang bahwasanya berkesan hanya entertain.
Menariknya, ditenggarai perjalanan dinas tersebut rata-rata dilakukan tiap ahad dengan intensitas waktu lamanya perjalanan dinas 3-5 hari.
Pada konteks ini rasa aib itu perlu diberi tanda awas, faktanya walikota yang didukung 53 persen bunyi rakyat di pilwako kemudian tidak fokus dengan pengelolaan pemerintahannya.
Undang-undang 23 Tahun 2014 wacana Pemerintahan Daerah pasal 77 ayat 3 sendiri tegas menyatakan “Kepala tempat dan/atau wakil kepala tempat yang meninggalkan kiprah dan wilayah kerja lebih dari 7 (tujuh) Hari berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam waktu 1 (satu) bulan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) karakter j dikenai hukuman teguran tertulis oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau walikota dan/atau wakil wali kota”.
Selanjutnya kalau ketentuan ini tidak diindahkan maka kepala tempat dan/atau wakil kepala tempat diwajibkan mengikuti acara training khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian (pasal 77 ayat 4).
Diluar itu, dikala tidak melaksanakan perjalanan dinas, yaitu kebiasaan walikota menggelar rapat dengan jajaran satuan kerja perangkat tempat hingga dini hari.
Rapat ini untuk sementara saya asumsikan rapat bodong, diluar jam kerja, dan digelar dalam rasa kantuk luar biasa. Kendati berkilah dengan label hak preogratif menggelar rapat, maka hak tersebut tidak berlaku pada seseorang berstatus istri yang pulang rumah dikala dini hari dengan terkantuk-kantuk.
Pertanyaan mendesaknya, mungkinkah rapat-rapat homogen itu sudah tidak bisa dilakukan siang hari dan cukup wakil walikota dan sekretaris kota yang memimpinnya ?
Sinyalemen ketidakharmonisan pemerintahan Kotamobagu pun meruyak, bahwa stabilitas Pemerintahan Kota Kotambagu goyah dan terengah-engah, di tengah kepungan banyak sekali kepentingan.
Berkembang pemikiran tersebab kasip waktu ditengah perburuan perjalanan dinas dan ketidakpercayaan pada pejabat lain, maka setiap perhelatan rapat itu harus dipimpin eksklusif walikota dan digelar hingga dini hari.
Sangat ironi dan miris kalau tata kelola pemerintahan Kotamobagu kedap dengan perubahan dan masih mengusung administrasi tukang bakso yang semuanya serba dikelolah sendiri.
Terlepas dari sekelumit realita administrasi pemerintahan Kotamobagu itu, sisi baiknya daftar panjang prestasi telah ditorehkan Pemerintahan TB-JaDi namun takarannya terbilang sebatas seremonial dan kepentingan mendulang pencitraan semata.
Crash acara unggulan dalam konteks pencapaian visi kota model jasa, sejauh ini masih nol besar. Apalagi ini turut diperparah dengan amburadulnya penyusunan dokumen RPJMD oleh Bappeda Kotamobagu.
Ini juga seyogyanya menjadi rasa aib walikota lantaran keliru menempatkan pejabat yang mahfum dengan seluk beluk perencanaan daerah.
Terlepas akan hal itu, sebagai langkah awal di sisa waktu pemerintahan TB-JaDi, ada baiknya Walikota Kotamabagu mencipta ulang pemerintahan yang dipimpinnya.
Tempatkan pejabat yang hebat sesuai kompetensi dan latar belakang pendidikannya, rangsang dan perkuat penemuan tempat dilevel pejabat, berlakukan regulasi kebijakan yang pro rakyat semisal pengembangan pertanian organik, dan pembentukan bank daerah.
Penting untuk diingat, semuanya itu bisa terwujud kalau walikota merasa malu selalu berplesir keluar tempat dengan stempel perjalanan dinas.
Jangan hingga rakyat merasa aib telah menentukan walikota yang cuma asyik masyuk jalan-jalan tanpa peduli dengan persoalan-persoalan rakyat yang tersingkap di ruang publik.
Baca juga siapa-siapa yang menciptakan walikota merasa aib pada posting saya sebelumnya Bandit-bandit Swasembada Pangan
Namun berbeda bagi yang melek politik, pergulatan politik yaitu sebuah seni kiprah yang asyik dilakoni, dengan tuntutan bisa mengekspresikan bermacam-macam karakter.
Ketika karakter marah, seorang politikus ulung verbal wajahnya harus terlihat keras bertanduk-tanduk, tegas, dan sedikit pelit senyuman.
Namun ketika karakter senang dan senang, sudah niscaya verbal wajah itu terlihat ceria, menebar aura kehangatan dengan balutan selipan senyum sumringah.
Terlepas aneka karakter itu, ujian kedua bagi Walikota dan Wakil Walikota terpilih yaitu memenuhi semua janji-janji dikala kampanye lalu.
Di berbagai kesempatan memimpin rapat dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah, Walikota sering melontarkan merasa aib kalau ditanya masyarakat seputar janji-janji kampanye yang belum terealisasi.
Inilah juga alasan utama Walikota jarang lagi beranjangsana ke hajatan masyarakat pasca dilantik menjadi walikota.
Kembali lagi, hal Ihwal empu rasa malu, diinisiasi pertama kali negeri sakura Jepang lewat tradisi bushido periode antara tahun 1870 – 1895.
Ringkasnya, tidak berpanjang lebar kaum samurai akan meminta melaksanakan upacara harakiri (bunuh diri) kepada pemimpinnya sebagai wujud penebusan rasa malu
Malu sang walikota
Pada titik ini, saya berharap walikota alih-alih tidak melaksanakan hal yang sama dalam tradisi bushido itu.
Akan tetapi, kalau itu harus dilakukan sebagai sebuah tanggung jawab moral pemimpin maka cukup dilakukan dengan secarik kertas bertulis perihal pengunduran diri sebagai walikota. Lain soal kalau rasa aib itu.
hanya sebuah karakter dan eskpresi politik semata, abaikan saja niat bunuh dirinya lantaran Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 wacana Hak Asasi Manusia sejauh ini lalai memasukan klausul hak bunuh diri sebagaimana yang berlaku di potongan negara lain.
Adalah masuk akal kalau Walikota Kotamobagu merasa malu, ini sebuah penemuan budaya kerja yang patut dilembagakan.
Duga-duga pun berkembang, lantaran rasa aib itu, walikota suka marah-marah dikala memimpin rapat dengan jajaran pemerintahannya. Sekilas amuk Walikota Kotamobagu itu tidak berbeda dengan amuk Walikota Surabaya Tri Rismaharini, sama-sama murka lantaran kinerja SKPDnya yang melempem.
Yang berbeda di antara kedua walikota ini, dalam suatu acara talkshow di salah satu stasiun terkemuka, Walikota terbaik Indonesia Tri Rismaharini ini mengungkapkan kebiasaannya melaksanakan perjalanan dinas ke Jakarta, bahwa pada sore harinya beliau akan selalu bergegas pulang ke Surabaya lantaran besok pagi beliau harus bekerja.
Bertolak belakang dengan Walikota Kotamobagu, ditengah kesiuran kegiatan semua warga Kotamobagu pun tahu dan pasti, walikota hampir seringkali tidak berada di bangku panasnya, sibuk melaksanakan perjalanan dinas yang bahwasanya berkesan hanya entertain.
Menariknya, ditenggarai perjalanan dinas tersebut rata-rata dilakukan tiap ahad dengan intensitas waktu lamanya perjalanan dinas 3-5 hari.
Pada konteks ini rasa aib itu perlu diberi tanda awas, faktanya walikota yang didukung 53 persen bunyi rakyat di pilwako kemudian tidak fokus dengan pengelolaan pemerintahannya.
Undang-undang 23 Tahun 2014 wacana Pemerintahan Daerah pasal 77 ayat 3 sendiri tegas menyatakan “Kepala tempat dan/atau wakil kepala tempat yang meninggalkan kiprah dan wilayah kerja lebih dari 7 (tujuh) Hari berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam waktu 1 (satu) bulan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) karakter j dikenai hukuman teguran tertulis oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau walikota dan/atau wakil wali kota”.
Selanjutnya kalau ketentuan ini tidak diindahkan maka kepala tempat dan/atau wakil kepala tempat diwajibkan mengikuti acara training khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian (pasal 77 ayat 4).
Diluar itu, dikala tidak melaksanakan perjalanan dinas, yaitu kebiasaan walikota menggelar rapat dengan jajaran satuan kerja perangkat tempat hingga dini hari.
Rapat ini untuk sementara saya asumsikan rapat bodong, diluar jam kerja, dan digelar dalam rasa kantuk luar biasa. Kendati berkilah dengan label hak preogratif menggelar rapat, maka hak tersebut tidak berlaku pada seseorang berstatus istri yang pulang rumah dikala dini hari dengan terkantuk-kantuk.
Pertanyaan mendesaknya, mungkinkah rapat-rapat homogen itu sudah tidak bisa dilakukan siang hari dan cukup wakil walikota dan sekretaris kota yang memimpinnya ?
Sinyalemen ketidakharmonisan pemerintahan Kotamobagu pun meruyak, bahwa stabilitas Pemerintahan Kota Kotambagu goyah dan terengah-engah, di tengah kepungan banyak sekali kepentingan.
Berkembang pemikiran tersebab kasip waktu ditengah perburuan perjalanan dinas dan ketidakpercayaan pada pejabat lain, maka setiap perhelatan rapat itu harus dipimpin eksklusif walikota dan digelar hingga dini hari.
Sangat ironi dan miris kalau tata kelola pemerintahan Kotamobagu kedap dengan perubahan dan masih mengusung administrasi tukang bakso yang semuanya serba dikelolah sendiri.
Terlepas dari sekelumit realita administrasi pemerintahan Kotamobagu itu, sisi baiknya daftar panjang prestasi telah ditorehkan Pemerintahan TB-JaDi namun takarannya terbilang sebatas seremonial dan kepentingan mendulang pencitraan semata.
Crash acara unggulan dalam konteks pencapaian visi kota model jasa, sejauh ini masih nol besar. Apalagi ini turut diperparah dengan amburadulnya penyusunan dokumen RPJMD oleh Bappeda Kotamobagu.
Ini juga seyogyanya menjadi rasa aib walikota lantaran keliru menempatkan pejabat yang mahfum dengan seluk beluk perencanaan daerah.
Terlepas akan hal itu, sebagai langkah awal di sisa waktu pemerintahan TB-JaDi, ada baiknya Walikota Kotamabagu mencipta ulang pemerintahan yang dipimpinnya.
Tempatkan pejabat yang hebat sesuai kompetensi dan latar belakang pendidikannya, rangsang dan perkuat penemuan tempat dilevel pejabat, berlakukan regulasi kebijakan yang pro rakyat semisal pengembangan pertanian organik, dan pembentukan bank daerah.
Penting untuk diingat, semuanya itu bisa terwujud kalau walikota merasa malu selalu berplesir keluar tempat dengan stempel perjalanan dinas.
Jangan hingga rakyat merasa aib telah menentukan walikota yang cuma asyik masyuk jalan-jalan tanpa peduli dengan persoalan-persoalan rakyat yang tersingkap di ruang publik.
Baca juga siapa-siapa yang menciptakan walikota merasa aib pada posting saya sebelumnya Bandit-bandit Swasembada Pangan
0 Response to "WALIKOTA MERASA MALU"
Posting Komentar