Adagium latin Fiat justisia ruat coelum, yang kurang lebih berarti meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan” begitu sangat top dan terkenal alasannya sering dipakai secara bandel untuk membangun konstruksi berpikir membenarkan pelaksanaan sebuah penegakan hukum. Celakanya kebiasaan nakal itu menjadi topeng untuk dalih penegakan aturan sehingga menggerus, melunturkan dan mengoyak-ngoyak tujuan penegakan aturan itu sendiri “ketertiban dan perdamaian”. Parahnya juga aturan dijadikan ladang mata pencarian oknum penegak aturan sebagaimana pernah saya ulas sebelumnya bertajuk info "kasih uang habis perkara".
Memang sejauh ini aturan program pidana di Indonesia telah banyak mengatur tetek bengek mekanisme formal dalam penyelesaian sebuah masalah pidana.
Namun sayangnya akhir adanya mekanisme aturan tersebut justru dijadikan alat represif bagi oknum penegak aturan untuk menzalimi pihak-pihak tertentu. Jika disebut sebuah kegemaran oknum penegak aturan ada benarnya juga, atas nama aturan semua insiden pidana harus berakhir di pengadilan tanpa terkecuali.
Korban dan Pelaku
Sebenarnya apa yang menjadi tujuan final dalam sebuah proses pidana? Sekedar untuk membuat efek jera kah? Menciptakan keteraturan dan keamanan kah?.
Jawabannya sangat banyak, namun satu hal yang niscaya keberhasilan sebuah proses pidana bukan ditentukan dari banyak sedkitnya jumlah tahanan maupun narapidana yang dijebloskan ke rumah tahanan (rutan) dan forum pemasyarakatan (Lapas).
Lapas bahwasanya bukanlah kawasan yang cocok dan sempurna dalam me-masyarakat-kan kembali para narapidana atau warga binaan. Bahkan berkembang aliran belakangan bahwa lapas telah beralih fungsi juga sebagai academy of crime, kawasan dimana para narapidana lebih “diasah” kemampuannya dalam melaksanakan tindak pidana. Untuk yang terakhir ini tidak akan saya bahas lebih lanjut.
Kembali lagi, maka seyogyanya penanganan sebuah masalah pidana harus di lihat dalam perspektif yang luas dan tidak memakai beling mata kuda, hanya terpusat pada kepentingan antara korban dan pelaku namun cara pandang pegawanegeri penegak hukum perlu menelusuri sisi kemaslahatan yang di timbulkan di tengah-tengah masyarakat.
Jangan alasannya sebuah insiden pidana yang lagi diproses pegawanegeri penegak aturan akan berbalik menjadikan konflik luas di tengah-tengah khalayak masyarakat menyerupai insiden antara dewan susila dayak dan kerukunan keluarga Madura di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Kaprikornus akan sangat baik bila korban dan pelaku telah mencapai janji perdamaian dan itu berarti tidak ada kepentingan korban yang di langgar, kemaslahatan publik tercipta.
Di titik inilah maka atas nama keadilan proses pidana tidak di lanjutkan sebagaimana marwah dari revisi Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah di bahas di komisi III dewan perwakilan rakyat RI.
Dalam satu garis lurus spesialis aturan Jerman Gustav Radbruch (1878-1949) pun menyampaikan hal serupa, “Hukum yaitu kehendak untuk bersikap adil.” (Recht ist Wille zur Gerechtigkeit).
Inilah konsep aturan yang memberi dukungan dan penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Bahwa sudah saatnya pendekatan humanis dalam proses penegakan hukum lebih ditonjolkan ketimbang pendekatan legal formal yang cenderung kaku kolam robot.
Lantas mengapa praktek program pidana konvensional yang berlaku masih memakai cara-cara barbar, seperti setiap insiden pidana yang terjadi dan dilaporkan ke pegawanegeri penegak aturan harus selalu ada tumbal kendati di antara pelaku dan korban sudah kata setuju perdamaian.
Sang korban telah bersepakat berdamai dengan pelaku, artinya sudah tidak ada lagi kepentingan korban yang di langgar oleh pelaku maka semestinya hal ini mutlak di pertimbangkan penegak aturan untuk tidak meneruskan masalah tersebut ke jenjang berikutnya.
Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL menyampaikan kendala dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada perilaku penegak aturan yang sangat formalistik dengan menyampaikan proses aturan akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan aturan tidak akan hapus alasannya perdamaian.
Pertanyaan kritisnya, masih adakah tujuan pemidanaan yang belum tercapai jika para pihak telah berdamai satu sama lain?
Jikalau sebuah proses pidana tetap di lanjutkan beralaskan sebuah perdamaian yang telah di buat pelaku dan dan korban maka boleh jadi ada dua kesimpulan yang bisa di hasilkan dari insiden tersebut :
Memang sejauh ini aturan program pidana di Indonesia telah banyak mengatur tetek bengek mekanisme formal dalam penyelesaian sebuah masalah pidana.
Namun sayangnya akhir adanya mekanisme aturan tersebut justru dijadikan alat represif bagi oknum penegak aturan untuk menzalimi pihak-pihak tertentu. Jika disebut sebuah kegemaran oknum penegak aturan ada benarnya juga, atas nama aturan semua insiden pidana harus berakhir di pengadilan tanpa terkecuali.
Korban dan Pelaku
Sebenarnya apa yang menjadi tujuan final dalam sebuah proses pidana? Sekedar untuk membuat efek jera kah? Menciptakan keteraturan dan keamanan kah?.
Jawabannya sangat banyak, namun satu hal yang niscaya keberhasilan sebuah proses pidana bukan ditentukan dari banyak sedkitnya jumlah tahanan maupun narapidana yang dijebloskan ke rumah tahanan (rutan) dan forum pemasyarakatan (Lapas).
Lapas bahwasanya bukanlah kawasan yang cocok dan sempurna dalam me-masyarakat-kan kembali para narapidana atau warga binaan. Bahkan berkembang aliran belakangan bahwa lapas telah beralih fungsi juga sebagai academy of crime, kawasan dimana para narapidana lebih “diasah” kemampuannya dalam melaksanakan tindak pidana. Untuk yang terakhir ini tidak akan saya bahas lebih lanjut.
Kembali lagi, maka seyogyanya penanganan sebuah masalah pidana harus di lihat dalam perspektif yang luas dan tidak memakai beling mata kuda, hanya terpusat pada kepentingan antara korban dan pelaku namun cara pandang pegawanegeri penegak hukum perlu menelusuri sisi kemaslahatan yang di timbulkan di tengah-tengah masyarakat.
Jangan alasannya sebuah insiden pidana yang lagi diproses pegawanegeri penegak aturan akan berbalik menjadikan konflik luas di tengah-tengah khalayak masyarakat menyerupai insiden antara dewan susila dayak dan kerukunan keluarga Madura di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Kaprikornus akan sangat baik bila korban dan pelaku telah mencapai janji perdamaian dan itu berarti tidak ada kepentingan korban yang di langgar, kemaslahatan publik tercipta.
Di titik inilah maka atas nama keadilan proses pidana tidak di lanjutkan sebagaimana marwah dari revisi Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah di bahas di komisi III dewan perwakilan rakyat RI.
Dalam satu garis lurus spesialis aturan Jerman Gustav Radbruch (1878-1949) pun menyampaikan hal serupa, “Hukum yaitu kehendak untuk bersikap adil.” (Recht ist Wille zur Gerechtigkeit).
Inilah konsep aturan yang memberi dukungan dan penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Bahwa sudah saatnya pendekatan humanis dalam proses penegakan hukum lebih ditonjolkan ketimbang pendekatan legal formal yang cenderung kaku kolam robot.
Lantas mengapa praktek program pidana konvensional yang berlaku masih memakai cara-cara barbar, seperti setiap insiden pidana yang terjadi dan dilaporkan ke pegawanegeri penegak aturan harus selalu ada tumbal kendati di antara pelaku dan korban sudah kata setuju perdamaian.
Sang korban telah bersepakat berdamai dengan pelaku, artinya sudah tidak ada lagi kepentingan korban yang di langgar oleh pelaku maka semestinya hal ini mutlak di pertimbangkan penegak aturan untuk tidak meneruskan masalah tersebut ke jenjang berikutnya.
Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL menyampaikan kendala dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada perilaku penegak aturan yang sangat formalistik dengan menyampaikan proses aturan akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan aturan tidak akan hapus alasannya perdamaian.
Pertanyaan kritisnya, masih adakah tujuan pemidanaan yang belum tercapai jika para pihak telah berdamai satu sama lain?
Jikalau sebuah proses pidana tetap di lanjutkan beralaskan sebuah perdamaian yang telah di buat pelaku dan dan korban maka boleh jadi ada dua kesimpulan yang bisa di hasilkan dari insiden tersebut :
- oknum pegawanegeri penegak aturan mempunyai kadar pengetahuan yang kurang memadai dan cukup landai untuk memahami konsep susila penegakan aturan yang berkeadilan.
- Ada motif tertentu di balik proses penegakan aturan itu sendiri semisal “balas dendam” yang disisipkan dalam atribut proses pemidanaan.
Dua point penting ini dikatakan oleh Imam Prasodjo (sosiolog dari Universitas Indonesia) menggambarkan proses aturan yang mati dari tujuan aturan itu sendiri.
Hukum hanya mengikuti aturan formal dan tidak mempertimbangkan substansi dan hati nurani. Senada dari pendapat imam, juga di kemukakan oleh Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto bahwa aturan menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati.
Ingat tujuan penegakan aturan bukanlah sebatas untuk menerapkan aturan semata, namun bertujuan yang hakiki untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang serasi dan adil (Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL), clear. Jika di amati secara tajam, sepertinya model penegakan aturan yang berlaku di Indonesia tidak diarahkan pada dimensi pemulihan antara korban dan pelaku, namun condong pada punishment (hukuman).
Penegakan aturan model menyerupai ini sangat mencemaskan dan lebih menyerupai episode keadilan sandal jepit yang khusus berlaku untuk menjepit rakyat kecil.
Ini memperkukuh stigma bahwa aturan akan keras dan tegas untuk kalangan bawah tapi loyo bagai agar-agar bagi kalangan yang mempunyai uang.
Apalagi bila sudah dibubuhi motif tertentu semisal balas “dendam”, maka oknum pegawanegeri penengak aturan tak terbantahkan lagi akan melaksanakan pengguguran terhadap tujuan aturan sendiri itu sendiri.
Akhirnya, sudah selayaknya, semestinya, seharusnya, dan sepantasnya penanganan masalah pidana mengusung pendekatan humanis. Karena sejatinya yang dicari dalam sebuah proses pidana pun yaitu rasa keadilan, dan bukan menurut hukum.
Hukum hanya mengikuti aturan formal dan tidak mempertimbangkan substansi dan hati nurani. Senada dari pendapat imam, juga di kemukakan oleh Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto bahwa aturan menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati.
Ingat tujuan penegakan aturan bukanlah sebatas untuk menerapkan aturan semata, namun bertujuan yang hakiki untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang serasi dan adil (Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL), clear. Jika di amati secara tajam, sepertinya model penegakan aturan yang berlaku di Indonesia tidak diarahkan pada dimensi pemulihan antara korban dan pelaku, namun condong pada punishment (hukuman).
Penegakan aturan model menyerupai ini sangat mencemaskan dan lebih menyerupai episode keadilan sandal jepit yang khusus berlaku untuk menjepit rakyat kecil.
Ini memperkukuh stigma bahwa aturan akan keras dan tegas untuk kalangan bawah tapi loyo bagai agar-agar bagi kalangan yang mempunyai uang.
Apalagi bila sudah dibubuhi motif tertentu semisal balas “dendam”, maka oknum pegawanegeri penengak aturan tak terbantahkan lagi akan melaksanakan pengguguran terhadap tujuan aturan sendiri itu sendiri.
Akhirnya, sudah selayaknya, semestinya, seharusnya, dan sepantasnya penanganan masalah pidana mengusung pendekatan humanis. Karena sejatinya yang dicari dalam sebuah proses pidana pun yaitu rasa keadilan, dan bukan menurut hukum.
0 Response to "HUKUM, BALAS DENDAM DAN SANDAL JEPIT"
Posting Komentar