CARA MENYELESAIKAN SENGKETA TANAH


 warga dengan pihak investor pemegang hak guna perjuangan di Indonesia kembali lagi bertambah CARA MENYELESAIKAN SENGKETA TANAH
Catatan hitam  sengketa tanah antara warga dengan pihak investor pemegang hak guna perjuangan di Indonesia kembali lagi bertambah. Kali ini   terjadi di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow yang menukil dari apa yang dituturkan  senator bung Benny Ramdhani  saat obrolan singkat di jarod rabu10/08 bahwa tidak kurang dari 28 pemegang hak guna perjuangan bercokol Kab. Bolaang Mongondow, lanjut diceritakan juga ketika masih menjadi anggota DPRD Propinsi Sulut dia kerap menuntaskan sengketa tanah antara perusahaan dan masyarakat. Dari klarifikasi sang kaisar ini  sepakat kita boleh katakan masalah ini sebetulnya merupakan penyakit bawaan pada tingkat akut yang selalu kambuh dan menggerogoti kesehatan pemerintah kawasan Kab. Bolaang Mongondow. 

Hari itu Senin  1 Agustus  2016 ketika saya lagi asik-asiknya menyerumput secangkir kopi hasil pesanan dari bilik jendela kantor ke kantin sebelah, tiba-tiba dikejutkan riuh rendah bunyi yang menyerupai pasar malam. Ada apa ini, selidik poh ternyata hari itu  bertempat di kantor Bupati Bolaang Mongondow masyarakat Desa Tiberias kecamatan Poigar bermaksud memberikan kegeraman dan tuntuan mereka kepada pemerintah daerah.  Bergegas saya bergabung dengan pendemo yang ketika itu sudah datang di depan halaman kantor Bupati Bolaang Mongondow untuk mencari tahu inti masalahnya. 

Orasi dari koordinator pendemo Firdaus dan Abner Patras coba saya simak dan sekali-kali melirik tulisan-tulisan yang tertera dalam kertas kartun yang mereka bawa. Siapa tahu asupan pengetahuan duduk perkaranya sanggup lebih cepat mengisi batok kewarasan saya ketimbang harus bercapek-capek berdiri mendengar semua uneg-uneg yang tampak sudah muncrat kemana-mana. Alhasil justru tambah bingung, ya sudah kolam patung bogani saya putuskan mengikuti saja skenario dongeng yang terlanjur dimulai.

Rupanya masyarakat Desa Tiberias gerah bertanduk-tanduk dengan ulah PT Melia Sejahtera yang disinyalir telah bertindak tidak sopan pada masyarakat. Pemerintah kawasan pun kena getahnya dan malah balik dipojokan alasannya yaitu dianggap abai dan kurang teliti menerbitkan beberapa dokumen perizinan sehingga mereka minta izin hak guna perjuangan perusahaan dicabut. Di tengah tudingan miring yang beterbangan kemana-mana, Kepala Badan Lingkungan Hidup, serta beberapa pejabat terkait termasuk sekretaris kawasan yang ketika itu berada di tempat  dengan sigap memberikan klarifikasi yang sanggup dikunyah penalaran masyarakat.
  
Cara ini cukup elok dan sangat pas, apalagi ditutup dengan titik kesimpulan seperti yang disampaikan sekretaris kawasan Drs Ashari Sugeha bahwa akan dibuat tim kajian investasi untuk mencari tahu apa yang dikeluhkan masyarakat.  Saat demo tengah berlangsung, agar jauh dari tafsir sesat yang menciptakan saya tergelincir dalam fitnah maka  iseng-iseng saya mengais informasi  pada beberapa warga yang ada sesungguhnya apa yang terjadi dan mengapa mereka keberatan terhadap PT Melia Sejahtera ? ternyata titik tekan masalah ini cuma gara-gara masyarakat dilarang  berkebun di tanah yang dikuasai perusahaan, dengan pernyataan   tanah ini milik perusahaan  bukan tanah negara.  

Peristiwa ini terang dan sangat kentara ada  sikap saling memandang remeh di antara keduanya. Ibarat orang di puncak gunung yang tinggi dan melihat orang dibawahnya begitu kecil, tapi pada ketika yang sama orang yang dibawah juga melihat orang yang dipuncak gunung itu begitu kecil. Walhasil kalau begitu akan sulit menemukan kata sepakat yang sanggup memuaskan kedua belah pihak.  


Hak Guna Usaha 
    
Lepas dari puas tidak puas itu, seolah menjadi tradisi yang dilembagakan acara investasi dan kepentingan masyarakat akan tidak pernah sejalan, berbenturan dan harus saling menjegal. Manuver-manuver belut pun tak lupa biasanya akan mengisi ruang kosong perseteruan di antara keduanya namun  kesudahannya sadar atau tidak masyarakat juga yang akan menjadi kuda tunggangan.  

Saya menangkap aroma  ada kepatutan yang dilanggar dari kejadian ini , entah apa itu. Mungkinkah kisruh ini terjadi akhir standar operasional mekanisme pengelolaan investasi swasta belum ada  ataukah kiprah kelitbangan pada perumusan kebijakan pemerintah kawasan yang masih lemah.
Padahal jika berkaca pada pasal 36 aksara G dan H Permendagri Nomor 17 Tahun 2016 ihwal Pedoman Penelitian dan Pengembangan di Kementerian dalam Negeri dan Pemda yang  memerintahkan “Badan Litbang Daerah Kabupaten/Kota atau forum dengan sebutan lainnya yang menyelenggarakan fungsi kelitbangan di kabupaten/kota mempunyai tugas: (g) memastikan tersusunnya kebijakan dan atau regulasi berbasis hasil kelitbangan di kabupaten/kota. (h) memberikan rekomendasi regulasi dan kebijakan kepada Bupati/Walikota dan perangkat kawasan di kabupaten/kota. Maka idealnya masalah sengketa tanah tidak perlu terjadi dan harus tuntas di awal sebelum semua dokumen perizinan dikeluarkan.


Tapi alasannya yaitu permendagri tersebut relatif gres diterbitkan di tahun 2016 ini maka masuk akal kalau belum diterapkan metode pembuatan kebijakan berbasis kelitbangan. Untuk memulai pesan permendagri itu akan saya awali  dari kalimat pertanyaan apa bahwasanya hak guna perjuangan itu ?  Menurut pasal 28 ayat 1 Peraturan pemerintah Nomor 40 tahun 1996  tentang  hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah disebutkan sebagai  hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai eksklusif oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna acara perjuangan pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan.

Jadi sudah terang hak guna perjuangan bersifat sementara untuk mengelola tanah negara sehingga mengugurkan opini perusahaan yang menyampaikan bahwa lahan yang mereka kelolah bukan tanah negara merupakan tafsir dungu sesuka-suka hati, "asal malontok" dari orang pandir.  Muncul pertanyaan kritis berikutnya  siapa bahwasanya yang mempunyai wewenang menerbitkan izin hak guna usaha, apakah Pemda Kabupaten Bolaang Mongondow ataukah ada instansi lain diluar pemerintah kawasan ?

Untuk menciutkan pertanyaan ini, disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 ihwal pelimpahan kewenangan pertolongan dan penghapusan Hak Atas Tanah Negara, bahwa penerbitan izin Hak Guna  Usaha untuk  tanah dengan luas di atas 200 hektar  menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional Pusat sedangkan untuk tanah yang luasnya dibawah 200 ha, menjadi kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.
Sehingga konstruksi tuntutan masyarakat Desa Tiberias yang meminta Pemda Kab. Bolaang Mongondow mencabut izin hak guna perjuangan PT Melia Sejahtera berdasarkan bunyi peraturan menteri agraria  tersebut terang salah kamar. Syak yang memercik di ubun-ubun saya, lintas koordinasi dari instansi vertikal tubuh pertanahan nasional dengan pemerintah kawasan masih mandul sehingga selalu menciptakan pemerintah kawasan patah arang. Tapi kita tidak akan mencari siapa yang benar dan salah, masalah ini cukup gampang diselesaikan dengan cara-cara beradab dan cerdas.

Posisi Masyarakat

Kita mulai menuntaskan untuk duduk masalah masyarakat Tiberias yang berkebun di lokasi yang sama dengan PT Melia Sejahtera. Apakah pantat mereka pantas  ditendang seenaknya pihak perusahaan untuk dikeluarkan dari lokasi yang sudah dikuasai ? tunggu dulu bos,   kendati sudah mempunyai izin hak guna usaha, dalam pasal 28 Undang-undang Pokok Agraria jo pasal 4 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan” Dalam hal di atas tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu terdapat flora dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberadaannya berdasarkan bantalan hak yang sah, pemilik bangunan dan flora tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan pada pemegang Hak Guna Usaha baru”.

Jelas, ada kewajiban perusahaan pemegang hak guna perjuangan kepada masyarakat untuk memberikan  ganti rugi untuk flora dan bangunan sebelum izin hak guna perjuangan itu dikeluarkan. Persepsi lain yang berkembang belakangan untuk ganti rugi tanah mohon maaf tidak sanggup dilakukan alasannya yaitu statusnya sebagai tanah negara. Pada situasi inilah pemerintah kawasan Kabupaten Bolaang Mongondow hadir untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa tanah dengan memperlihatkan resolusi konflik yang sanggup memuaskan kedua belah pihak bertikai dengan beberapa pilihan solusi:
  1. Harus diberikan  ganti rugi kepada masyarakat dengan nilai janji memakai pendekatan metode shadow price (harga bayangan) supaya tidak terjadi debat dingklik yang berlarut-larut.
  2. Pola inti plasma harus dipakai oleh perusahaan dalam tata kelolah lahan perkebunan yang dikuasainya yang dituangkan dalam nota janji kerjasama. 
  3. Masyarakat diberikan ruang untuk berkebun sebesar 20 persen dari total luas areal  perkebunan perusahaan dengan merujuk pada  Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 ihwal Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Bagaimana seandainya  kalau alternatif yang ditawarkan itu menemui jalan buntu ? dengan sangat berat hati saya mau katakan maka bupati berhak memakai  kewenangan yang dimiliknya mencabut izin lokasi  yang telah diberikan. Kewenangan penerbitan izin lokasi oleh bupati sudah dijelaskan secara lugas  dalam pasal 9 ayat 3 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 5 tahun 2015 ihwal Izin Lokasi, sehingga logika terbaliknya bupati berhak juga mencabut izin lokasi yang diberikan.  

Muncul lagi duduk masalah baru, apakah penjabat Bupati Bolaang Mongondow sanggup mengeksekusi perintah pasal 9 ini ? Secara tegas saya katakan  bisa jikalau menerima persetujuan tertulis dari menteri dalam negeri. Itu  ada dalam pasal 132a ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 ihwal Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Akhirnya, saya cuma berharap masyarakat perlu sedikit bersabar menunggu solusi terbaik yang diambil Pemda Kabupaten Bolaang Mongondow menyerupai sudah saya beberkan sebelumnya. Tidak perlu curiga ada main mata dalam masalah ini, solusinya sudah terang dan terukur melalui tim penyelesaian konflik yang nantinya akan dibentuk. Dan bagi pihak perusahaan harus tunduk dan taat pada peraturan perundangan yang berlaku dan apa yang diputuskan pemerintah kawasan nantinya. Penggunaan Undang-undang 51 tahun 1960 dalam menuntaskan masalah sengketa tanah ini untuk sementara saya pikir diabaikan dulu demi  mencapai resolusi cerdas  yang sama-sama sanggup memuaskan semua pihak bertikai. 

Baca juga menggugat ganti rugi tanah
    

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CARA MENYELESAIKAN SENGKETA TANAH"

Posting Komentar